Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday 28 June 2009

Kemewahan Masa Kecil

Baru saja aku melihat liputan pembuatan papan penggilasan untuk mencuci kain di TV. Ada sebuah alat yang sangat ku kenal. Namanya ketam. Alat penghalus permukaan kayu.

Melihat ketam itu, aku teringat masa kecilku. Aku akrab dengan ketam dan bahan-bahan bangunan lainnya karena hobby ayahku merehab rumahnya. Karena tidak mau diam dan bosan hanya menonton para tukang, iseng-iseng aku ikut mencobai hampir seluruh peralatan yang ada. Martil, paku, gergaji, gergaji halus, ketam, kertas pasir, obeng, tang, sekop, semen, pasir, sendok semen, batu bata, kerikil, padas adalah teman bermainku saat itu.

Terkadang karena penasaran mencoba, aku ikut mengayak semen dan agregatnya, mengaduk semen dengan sekop. Jika tidak ketauan, aku pun mencuri sedikit semen siap pakai, mengambil sisa potongan bata dan membangun gedungku sendiri yang keesokan harinya akan dihancurkan lagi oleh tukang-tukang itu. Tapi aku tidak marah, kesal ataupun sedih. Bagiku saat itu, pernah saja sudahlah cukup.

Di lain waktu, aku mulai tertarik pada bahan bangunan hasil panglong. Broti, papan, tripleks mulai bersahabat denganku. Iseng, aku mulai membuat dingklik. Tapi dingkliknya aneh. Kaki dingklik tidak dipaku dikedua ujung dudukan, tapi di tengah. Disusun bertingkat ke bawah semakin kecil. Alhasil jika diduduki kau akan bisa bergoyang ke kanan dan ke kiri :D

Dari membuat dingklik untuk tempat duduk, aku mulai tertarik untuk membuat meja. Meniru meja abangku. Meja kecil hanya setinggi 50cm. Dibuat dari bahan sisa bangunan. Digunakannya untuk belajar sambil duduk bersila. Mejanya pun bisa dibawa kemana-mana. Lama sekali aku terpukau melihat meja itu sampai aku putuskan untuk membuat sendiri, untukku. Aku tidak begitu suka menggunakan gergaji. Aku baru berumur 9 tahun, kedua tanganku tak kuat menggunakannya. Jadi, aku mencari sisa kayu dan tripleks yang sesuai dengan ukuran yang kubutuhkan. Jadilah sebuah meja berukuran 50x50 cm, dengan dua kaki belakang yang lebih tinggi dari kaki depan. Lalu ku cat dengan warna coklat. Ah... senang sekali menggunakannya untuk belajar saat itu.

Teman-temanku diwaktu kecil mengajarkanku hidup bersahaja dan apa adanya. Jika tidak bisa dibeli, maka buatlah, begitu kira-kira filosofi mereka. Maka berbekal sisa-sisa bahan bangunan ayah, aku mulai membuat ayunan dan serambi pohon (jika bisa disebut demikian) bersama teman-temanku. Kebetulan belakang rumahku dulu penuh dengan pepohonan, tempat bermain yang seperti surga kami bilang. Ayunan kami tempatkan di batang pohon jambu yang cukup besar. Berbekal tali tambang dan sebilah papan, jadilah kami memiliki ayunan. Sungguh ayunan itu memang tidak bertahan lama, ntah dicuri orang atau memang sengaja dibuka oleh orang dewasa di sekitar, kami tidak tahu dan tidak mau tahu. Bagi kami saat itu, memiliki dan bisa membuat ayunan kami sendiri adalah lebih dari apapun.

Serambi pohon kami tempatkan di pohon yang lebih rendah. Pohon belimbing. Kami mengenal bentuk batang seluruh pohon di kebun itu. Pohon belimbing yang kami pilih adalah pohon dengan batang yang unik, batangnya bercabang dua tidak jauh dari tanah. Lalu kedua cabang itu melebar dengan sedikit melandai memberi bentuk oval pada dasarnya. Di bagian batang yang memberi ruang oval itulah kami susun potongan-potongan bambu sebagai lantai. Sederhana saja, tak berdinding, duduk pun kami harus sempit-sempitan. Namun senang sekali rasanya.

Di hari minggu, terkadang kami akan membuat kemah sederhana yang lagi-lagi ala kadarnya. Hanya berbekal kayu dengan panjang kira-kira 1m dan karung goni beras. Kami mulai dengan membangun pacak-pacaknya lalu membuat dindingnya dengan goni beras tersebut. Kemah kecil, tidak pernah besar, hanya berukuran 1x2 meter yang diisi beberapa anak SD yang masih printil-printil. Selesai membangun kemah, kami berkumpul duduk bersama di dalamnya. Lima menit pertama kami masih terbuai dengan kemah baru kami (yang sudah pasti akan roboh beberapa hari ke depan). Menit-menit selanjutnya kami jadi bingung harus berbuat apa. Untunglah salah salah satu teman berinisiatif mengeluarkan uangnya Rp 500,- untuk membeli sebungkus plastik besar kerupuk jangek dan di makan bersama-sama di dalam kemah. Ah... indah sekali rasanya saat itu. Hahaha... :D kemewahan tiada tara. Dan dugaanku benar, tidak sampai 3 hari kami sendirilah yang merobohkan kemah itu. Menyimpan karung goninya untuk dipakai di lain waktu. Kayu bekas pacak kami ambil untuk bermain locak. Permainan anak-anak di sekitar rumah dengan sebuah bola plastik (sebesar bola kasti) yang dimainkan seperti permainan hoki. Namun dimainkan tanpa gawang. Aturannya hanya satu, diharamkan menyentuh bola dengan bagian tubuhmu, jika tersentuh maka kau bertugas menyentuhkan bola itu lagi ke tubuh temanmu yang lain.

Masa kecilku mengajarkanku banyak hal. Jika tidak dijual di pasaran, atau kau tidak punya uang untuk membeli, maka buatlah. Jika tidak sama persis, setidaknya kegunaannya tidak berbeda jauh. Kami mencintai proses, kami menikmati kerja keras, kami menghargai usaha kami, tapi kami tidak jatuh hati pada produknya. Karena jika sesuatu diluar kehendak kami telah memusnahkan hasil yang kami capai, kami tak perlu bersedih dan bermuram durja berlama-lama. Saat itu, menjadi pernah adalah kebahagiaan, menjadi bisa adalah kemewahan. Dan kami menikmati kemewahan masa kecil kami.

MTAS
Regards

No comments:

Post a Comment