Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday 8 December 2011

Baju Baik dan Baju Buruk

Sejak menjalani Kepaniteraan Klinis Senior atau yang biasa disebut koass, saya memiliki klasifikasi baju untuk dipakai saat jaga malam. Baju baik dan Baju buruk.

Menurut saya, dalam kasus ini dualisme benar-benar terjadi. Pada satu sisi, sebagai individu medis harusnya kita bisa berpikir logis dan empiris. Namun, pada saat yang bersamaan, seringnya anak-anak koass percaya pada mitos-mitos seputar tugas jaga malam dan siang, termasuk saya sendiri.

Ada mitos tentang "bawaan badan". Artinya pada beberapa orang tertentu memiliki kecenderungan dapat banyak pasbar (pasien baru) atau pasien gawat bahkan exitus (meninggal) selama tugas jaga. Nah orang-orang BB (bawaan badan) seperti ini biasanya dihindari sebagai kawan jaga, kecuali terpaksa. Hahaha...

Ada juga mitos tentang mandi. Jika sebelum pergi jaga tidak mandi atau sebaliknya, sebelum jaga malah mandi, akan terjadi hal-hal seperti kasus BB di atas. Jadi, jika diurutkan, mitos mandi ini mirip dengan mitos BB dengan conditional.

Sebenarnya, ada banyak mitos terkait tugas jaga ini. Namun, sepertinya lambat-laun mitos ini mulai berkurang intesitasnya. Entah tergerus oleh zaman atau apa, tapi menurut cerita beberapa senior semua itu benar.

Nah, saya sendiri punya mitos untuk diri saya. Seperti judul di atas, sejak tugas jaga, saya jadi rajin mengklasifikasikan baju saya menjadi baju buruk dan baju baik. Biasanya klasifikasi ini saya dasarkan pada pengalaman saya memakai baju tersebut saat tugas jaga. Baju-baju yang saya pakai saat jaga yang berlangsung aman, masuk ke deretan baju-baju baik. DAn baju-baju yang saya pakai saat jaga yang hectic, masuk ke baju-baju buruk, dan tidak akan saya pakai lagi untuk tugas jaga.

Pernah, sekali saya mencoba memakai kembali salah satu baju buruk, yang terjadi? seperti mengaminkan mitos yang saya ciptakan sendiri, malam itu menjadi salah satu malam terletih dalam tugas jaga saya. hahaha... Dari situ saya menjadi semakin yakin dengan mitos saya sendiri.

Sunday 20 November 2011

Ali, Keringat, dan Semangat

Kisah ini nyata, terjadi hari ini, di tanggal apik, 20-11-2011. Tanggal yang sering dijadikan pasangan kekasih untuk melangkah ke gerbang perningkahan atau tanggal yang sering dipesan ibu-ibu hamil untuk minta di SC (Sectio Caesarea) oleh dokter kandungannya. (Kebayang deh, dokter-dokter Obgyn dan ibu-ibu hamil itu berharap hari-hari di tanggal cantik seperti ini bisa berlangsung lebih dari 24 jam, agar si dokter sempat men-delivery seluruh bayi). #LuKatePizzaDiDeliperi??

Kisah nyata ini sebenarnya tidak terlalu fantastis, tidak juga terlalu heroik. Kadar luar biasanya juga tidak segegap-gempita tanggal cantik hari ini. Tapi kisah ini memiliki moral of the story di atas rata-rata #PalingTidakMenurutSaya.

Adalah seorang anak berumur 7 tahun, sebut saja namanya Ali (#BukanNamaSebenarnya-BerasaKoranLampuMerah). Tubuhnya kecil, kurus, tapi lincahnya luar biasa. Jika berat badan dan tinggi badannya diplot ke kurva CDC mungkin hasilnya dibawah 80% yang secara angka berarti malnutrisi sedang. Namun, jika anda melihat tingkah Ali langsung, anda tidak akan percaya pada angka-angka itu.

Ali terkenal rajin dan ramah dikeluarganya. Umurnya memang masih 7 tahun dan tubuhnya kecil, tapi daya pikir dan keinginannya jauh melebihi bobot tubuhnya.

Hari ini pagi-pagi sekali, tiba-tiba Ali sudah mandi, wangi, dan berpakaian rapi. Ini bukan kebiasaannya, karena keluarganya juga tidak berencana bepergian hari ini. Tidak berapa lama lepas dari pandangan ibunya, Ali sudah menghilang. Ibunya berpikir hanya bermain ke sekitar rumah dan tidak perlu terlalu khawatir. Namun, hingga pukul 13.00 siang, Ali juga tidak pulang. Padahal biasanya dia pasti menyempatkan diri untuk pulang sebentar sekedar makan ataupun minum.

Ibunya mulai gelisah tapi belum terlalu ambil pusing. Kebetulan, tetangga di gang sebelah sedang melakukan hajatan, menikahkan anaknya, ditanggal cantik. Karena hari sudah siang, Ibu Ali pun bersiap-siap untuk menghadiri undangan tersebut, tanpa Ali.

Tidak disangka, sesampainya di tempat hajatan Ibu Ali mendapati Ali sedang mengumpulkan piring-piring kotor dan gelas untuk dicuci. Dengan lidahnya yang masih cadel, Ali bilang dia sedang kerja sampingan.

Saat Ibu Ali mengajaknya pulang, Ali menolak dengan keras. Dia bilang belum selesai kerja dan upahnya belum dibayarkan. Sang Ibu penasaran, "Memang Ali dibayar berapa, Nak?".
"Lima ribu, Bunda".
"Ya udah pulang ya, Bunda kasi sepuluh ribu".
"Ga mau bunda, bunda jangan manjakan Ali".

Pada penggalan kalimat tersebut, saya tertegun. Ali kecil, 7 tahun, menolak untuk dimanjakan dengan materi. Padahal kesempatan untuk bermanja itu ada, kesempatan untuk menikmati kesenangan tanpa keringat itu ada. Tapi dia memilih untuk berkeringat dan berdiri di kakinya sendiri. Bukan diam berpangku tangan menunggu uluran dari orang lain.

Itu Ali, bertubuh kecil, berusia tujuh tahun.
Tanya dirimu, berapa usiamu, apa yang sudah kau perbuat?
Mungkin kepada Ali kecil kita bisa bercermin...

Wednesday 9 November 2011

Paksakan!

Pagi ini, 9 November 2011, 08.34.
Saya membaca tweet dari @JamilAzzaini, isinya tentang bagaimana meluruskan niat untuk bisa posting tulisan di blog setiap hari. Kuncinya hanya satu. Kata beliau: Paksakan!

Saya sedikit tertampar membaca potongan tweeter tersebut, mengingat blog saya yang terbengkalai. Update tulisannya seperti puasa senin kamis. Seninnya tahun ini, kamisnya tahun depan. Alhasil blog saya stuck di tulisan yang saya sendiri lupa kapan terakhir mem-publishnya.

Meminjam istilah Jaman Balai Pustaka, dalam pada itu, saya akan memaksa diri saya hari ini untuk menulis blog kembali. Memanfaatkan Notepad di smartphone ditambah jaringan koneksi unlimited harusnya saya memang lebih produktif dalam hal menulis. Fitri Rakhmawaty a.k.a Fitri Tropika a.k.a @fitrop saja bisa nulis buku hanya dari Notepad, masa saya ga bisa update blog? Hehehe

Kembali ke permasalahan awal, jika tidak ada ide, paksakan sampai ada! Kalau istilahnya HMI sih Yakin Usaha Sampai, Usahakan Sampai Yakin.

Nah, ternyata menulis di blog itu tidak hanya dibutuhkan sekedar gadget, koneksi, dan something like 'paksakan!'. Ternyata tidak sesederhana itu.

Hambatan-hambatan yang saya alami dalam meng-update blog justru adalah bahwa terkadang ide yang sudah ada sulit sekali diterjemahkan ke dalam kata-kata. Kalaupun ide itu berhasil diterjemahkan menjadi tulisan, seringnya tidak selesai. Dan terkubur menjadi relik-relik di celah-celah laci hard disk menjadi entah apa.

Dan hari ini saya akan memaksa diri saya memungut relik-relik tersebut, kemudian saya rangkai, mudah-mudahan bisa menjadi sesuatu. Ah, mudah-mudahan.

Tulisan ini adalah awal, awal dari sikap paksa saya untuk kembali menulis. Banyak penulis yang rajin menyemangati pembacanya untuk berlatih menulis, untuk rajin menulis, untuk membudayakan menulis. Mereka bilang dari kebiasaan tersebut akan lahir rutinitas yang pada akhirnya membuat menulis bukan lagi sekedar hobi tapi kebutuhan. Sekali lagi, mudah-mudahan.

Akhir kata, mari menulis teman!
Meminjam istilah SCORE (Standing Committee on Research Exchange), Scripta Manen Verba Volent. Tulisan abadi, kata-kata musnah.

Monday 27 December 2010

Sepak bola, Indonesia, Malaysia

Pertunjukan kesebelasan Timnas Indonesia melawan Timnas Malaysia tadi malam sepertinya bisa menjadi pelajaran, bahwa yang berlebihan itu tidak pernah membawa kebaikan.

Saya sendiri bukanlah penggemar sepakbola, apalagi komentator. Saya tidak mengerti sama sekali tentang itu. Namun saya menangkap beberapa hal yang menjadi alasan mengapa kita kalah. Yang pertama adalah euphoria berlebihan. Belum bertanding, kita sudah merasa menang. Yang kedua adalah emosi. Jangan pernah libatkan emosi dalam urusan profesional apapun. Insting boleh, emosi jangan. Yang ketiga, ya apalagi? Kita yang lebih dewasa harus bisa mafhum Negeri Jiran itu kekanak-kanakan dan tidak beretika sama sekali. Teknologi mereka boleh futuristik, tapi adab dan sopan santun mereka masih tertinggal dimasa paleolitikum.

Sekali lagi saya tidak akan bicara teknis persepak-bolaan. Saya tidak mengerti. Saya hanya akan membahas apa yang menurut saya menjadi sandungan kita malam tadi.

Oke mari kita bahas satu-persatu.
Yang pertama, Euphoria berlebihan. Timnas Indonesia memang baru kali ini masuk sebagai finalis Piala AFF. Itu prestasi besar. Namun sayangnya kita terlalu cepat bersyukur, terlalu dini merayakan kemenangan yang belum terjadi. Bukankah kita tidak bisa meramal sebuah akhir hingga kita sampai pada akhir itu sendiri? Yah, mau bagaimana lagi, memang sudah mental bangsa kita yang selalu cepat berpuas diri. Di atas itu semua, konsentrasi pemain sepertinya pecah akibat ramainya publisitas tentang diri mereka. Ingat woi, atlit itu buka selebritis. Tugas mereka ada dilapangan bukan stay on cam.

Lalu hal kedua yang saya pikir mengganggu Timnas kita adalah Emosi. Terlihat sekali setelah Markus dan kawan-kawan kembali bermain (setelah insiden laser-walk out), Timnas kita sangat dikuasai oleh emosi. Teman, untuk sebuah tugas profesional, emosi adalah musuh. Tolong jangan dilibatkan. Sulit memang mengendalikan emosi, dan itulah yang terjadi pada Timnas yang kita banggakan ini.

Hal yang ketiga, yah mau bilang apalagi. Negeri Jiran kita itu noraaaakknya amit-amit dah. Sumpah! Ya maklum aja deh, dari segi apapun mereka kan selalu dibawah kita. Lagu daerah nyolong, batik juga nyuri, sampe-sampe rendang yang maknyos itu pun bisa-bisanya dirampok. Harga diri memang diye kagak punye gan. Ya mari bersabar dan mengelus dada teman-teman, mungkin adab dan etika tidak ditakdirkan Tuhan ada disana.

Diatas segala-galanya teman, mari berdoa. Timnas kita hebat. Selalu hebat. Buat yang jago nyantet ya simpen dulu elmu-nya. Buat yang punya laser, hemat aja baterainya. Buat yang punya petasan atau terompet simpan aja buat malam tahun baruan. Jika anda atlit, berkelakuanlah seperti atlit. Jika anda penonton, bertindaklah seperti penonton. Piala AFF boleh hilang dari genggaman kita. Tapi adab dan moral bangsa jangan sampai jatuh ke titik nadir. Indonesia terlalu besar untuk melakukan hal-hal kerdil. Hidup!

Monday 20 December 2010

Hai

Malam ini saya habiskan waktu membongkar-bongkar file di harddisk. Dan tiba-tiba ingin mem-publish puisi ini (jika boleh disebut puisi).

Hai, apa kabar hatiku.
Fluktuasi hidup itu seperti naik jet coaster ya. Berdebar-debar. Entah karena sedih atau bahagia.
Lama aku tidak menyapamu. Aku terlalu sibuk pada duniaku. Maaf.
Aku ingin tau keadaanmu. Adakah hujan di luar sana terlalu kuyup mengguyurmu. Ataukah kering udara telah membuatmu keriput. Aku menyesal. Aku tak punya cukup tenaga untuk menghalau agar hujan tak datang, atau agar kering tak begitu kerontang.
Ku lihat kau masih ditempatmu. Adakah kau baik saja? Menantikukah mengunjungimu? Ah, hatiku, kau selalu tahu aku pasti akan selalu datang. Kau selalu tahu aku akan selalu jatuh rindu.
Jatuh rindu menyapamu seperti dulu lagi
ketika sepi adalah taman bermain penuh warna pelangi untuk kita berdua
ketika bumi tetap bungkam saat tawa kita membahana
ketika malam menelingkupi kita dalam diam dan gulita lalu kita merasa hampa
ketika jingga yang hinggap di ufuk menjadi jenaka
ketika itu kau lah yang menjadi si mahatahu apa yang ku butuh: segelas air, nyanyian tak bernama, kata tak bermakna.
Dendang kita selalu sumbang. Tapi lucunya tak ada yang terusik, termasuk kau dan aku. Kadang ku bertanya, itu sumbang atau telinga kita kah yang berdarah hingga tak mampu menyerap suara.
Ah hatiku, apapun itu, aku cuma ingin kau tahu. Aku rindu.
Aku rindu gulita sepi dulu
Aku rindu melahap malam hanya dengan air mata dan kata yang tak kunjung sempurna.
Kaulah si mahatahu. Bersamamu ku lalui segala. Segala sakit segala duka. Segala suka canda tawa.
kau adalah saksi tangisku yang bisu dan diamku yang pilu
ah hatiku, malam semakin tinggi. Bulan pun sudah tak malu-malu lagi. Sampai kapan kau mau bersemedi
kemarilah keluar bersuka cita.

Wednesday 1 December 2010

Saya dan Harry Potter

Membaca judul di atas pasti anda akan tertawa menahan geli. Jangan kira saya juga tidak geli sewaktu menuliskannya. Membacanya seolah-olah ada romansa magis (nan najis) antara saya dan Harry (Potter), tapi tentu saja tidak. Judul di atas hanya usaha untuk mencoba sedikit centil ditulisan kali ini. Haha.

Saya penggemar setia kisah petualangan Harry Potter dan teman-temannya. Setiap kisah saya ikuti dengan seksama. Filmnya pun tidak saya lewatkan.

Awalnya saya terlambat mengenal Harry. Saat itu saya masih duduk di Kelas 2 SMP. Buku pertama yang saya beli justru buku ketiga, Harry Potter and The Prisoner of Azkaban, bukan buku pertama. Saya membacanya halaman demi halaman, tidak sampai habis. Saya bosan tidak mengerti jalan ceritanya. Saya putuskan untuk berhenti, dan meletakkan buku itu di rak buku saya yang terbawah. Tidak pernah saya sentuh lagi hingga berbulan-bulan.

Namun demi melihat animo pembaca Harry makin tinggi, saya makin jadi kembali penasaran. Saya putuskan untuk mulai dari buku pertama, Harry Potter and The Sorcerer's Stone (Harry Potter dan Batu Bertuah). Seketika saya selesai membaca buku tersebut, saat itu juga saya jatuh cinta dan memutuskan untuk membeli buku kedua Harry Potter and the Chamber of Secret.

Kecintaan saya bertambah dan saya teruskan membaca Harry Potter and the Prisoner of Azkaban sembari meminjam Buku ke empat, Harry Potter and the Goblet of Fire dari teman saya. Saat itu saya betul-betul keranjingan dan betul-betul jatuh cinta pada dunia sihir Harry. Sebegitu cintanya, saya putuskan untuk membeli sendiri buku ke empat, Harry Potter and the Goblet of Fire, sebagai bentuk apresiasi saya terhadap Harry.

Habis sudah ke empat buku yang telah terbit saya baca. Sekarang tinggal menunggu buku ke lima, Harry Potter and the Order of Phoenix. Kalau saya tidak salah, terbitnya saat saya sudah kelas 1 SMA.

Terbitnya Harry Potter kelima agak heboh, setidaknya bagi saya. Saya turut merasakan gegap gempita penggemar Harry menunggu dibukanya toko buku. Ya walaupun saat itu saya tidak ikut mengantri, tapi saya ikut mendesak-desak kakak saya mengantri dan membelikan buku tersebut. Kebetulan kota tempat tinggal saya tidak memiliki pusat buku seperti di Ibu Kota. Jadilah saya memiliki Harry Potter and The Orde of Phoenix. Dan setelah saya membaca, daftar antrian pinjaman sudah panjang. Mulai dari kakak saya sendiri, sepupu dan teman-teman. (Harusnya dulu saya mengutip bayaran ya, haha).

Dalam buku kelima ini Sirius Black yang dikenal Harry sebagai ayah Baptis-nya di buku ke tiga, mati. Terkena mantra yang diluncurkan oleh Bellatrix Lastrange-pelahap maut- membuat Sirius tidak dapat bertahan. Mengetahui kematian Sirius saat mebaca buku kelima, bukanlah suatu kejutan. Saya sudah mengetahuinya sejak Edisi Bahasa Inggrisnya diterbitkan. Hampir seluruh forum penggemar Harry membicarakannya. Namun, mengetahui bagaimana Sirius mati tentu lebih asyik.

Saat saya kelas 2 atau 3 SMA (saya lupa) buku ke enam, Harry Potter and The Half Blood Prince, terbit. Lonjakan kegembiraan seperti yang saya rasakan saat menanti buku kelima pun datang lagi. Seperti biasa, kakak saya bertindak sebagai perantara pembelian Harry Potter. (Oh sungguh saya harus berterimakasih untuk yang satu ini). Yang paling saya ingat, waktu itu bertepatan dengan Lebaran Haji, jadilah saya membawa-bawa Harry sambil menonton penyembelihan hewan Qurban. Haha.

Di buku keenam, kisah Harry bertambah suram. Setelah ditinggal oleh Sirius, Harry kembali ditinggalkan oleh penyelamatnya, Dumbledore. Jujur saja, saat mengetahui Dumbledore mati saya pun turut sedih (menitikkan air mata malah). JK Rowling benar-benar tahu cara mengaduk-aduk emosi pembacanya. Saya turut merasakan kegalauan yang dirasakan oleh dunia sihir sepeninggal penyihir terhebat mereka, Dumbledore.

Memendam perasaan berkabung, saya menanti keluarnya buku terakhir, buku ketujuh, Harry Potter and The Deathly Hallows. Saat itu saya sudah duduk dibangku kuliah, tingkat pertama kalau tidak salah. Praktis, kisah Harry sudah menemani hampir separuh masa pendidikan saya. Kali ini saya membeli sendiri buku ke tujuh, karena saya sudah tinggal dikota yang berbeda.

Buku ketujuh tidak kalah seru. Anda pasti sudah tahu jalan ceritanya, apalgi jika anda sudah menonton filmnya. Namun, justru saya merasa sangat sedih ketika selesai membaca buku terakhir ini. Saya sedih harus berpisah pada kisah-kisah petualangan Harry. Sedih bahwa tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi kelanjutan kisah Harry yang bisa saya ikuti. Sedih. Karena tanpa saya sadari, saya sudah jatuh cinta pada dunia sihir yang diciptakan oleh JK Rowling.

Sekarang, film dari separo buku terakhir pun sudah dirilis. Tahun depan kita menyaksikan Harry berlaga untuk terkahir kali. Kisah Harry sudah berakhir, berakhir bahagia tentunya. Namun, saya sebagai pecinta, harus berpisah dengan nelangsa.

Terakhir mungkin adalah ucapan terimakasih kepada JK Rowling, yang berhasil menjadikan dunia sihir begitu ilmiah dan riil.

Saya selalu berangan-angan bahwa dunia sihir yang diceritakan oleh JK, benar adanya. Saya berkhayal JK adalah seorang muggle yang mendapat pencerahan tentang keberadaan dunia sihir. Lebih parahnya, saya juga sempat berpikir, JK itu justru seorang penyihir yang sedang ingin mensosialisasikan dunia sihir terhadap kita, para muggle, salah satu upaya kementrian Sihir menjalin hubungan dengan dunia Muggle.
Ah khayalan!

Tuesday 21 September 2010

Belajar pun Harus Wangi ? :)

Sejak menggunakan pewangi tubuh, aku terbiasa menyimpan satu botolnya dengan menyisakan sedikit cairannya di dalam. Untuk apa? Untuk ku hirup kembali sewaktu-waktu.

Aku tidak pernah bertahan berlama-lama dengan satu pewangi. Biasanya aku menggunakan 4-5 aroma secara bergantian.

Aku mulai menyimpan sisa-sisa pewangi ini sejak aku merasa teringat kembali pada kejadian-kejadian lalu setelah aku mencium aroma pewangi yang telah lama tidak ku gunakan.

Ya. Aku menyukai kenangan. Aku suka mengenang. Hingga akhirnya aroma parfum ku gunakan sebagai media untukku kembali ke masa yang ku rindukan.

Beberapa waktu terakhir ini ada perbincangan menarik tentang indera penciuman. Ternyata indera pembau itu adalah indera manusia yang paling primitif. Paling mendasar. Alat penciuman kita terhubung langsung ke alam bawah sadar. Tidak heran, ketika mencium suatu aroma kita akan merasa terlempar ke peristiwa di mana aroma tersebut menjadi sangat khas.

Ah, ternyata ada penjelasan ilmiah terhadap apa yang sering ku lakukan. Mencium aroma tertentu untuk membantuku mengenang sesuatu.

Dan sepertinya metode ini bisa dijadikan modifikasi cara belajar. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan pada dua kelompok mahasiswa, penggunaan indera pembau dalam belajar memberikan efek yg signifikan terhadap sesuatu materi yg bersifat memori, bukan analisis.

Dua kelompok siswa tersebut di pisahkan. Satu kelompok siswa belajar setiap hari dengan menggunakan pewangi sedangkan kelompok yang lain tidak. Pada saat ujian tiba, pewangi yg sama digunakan kembali. Hasilnya pada ujian yg bersifat memorial (ingatan), kelompok yang diberi pewangi ketika belajar menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada kelompok yang tidak diberi pewangi.

Ahaa... Sepertinya metode ini layak dicoba. Mulai malam ini belajar sambil nyium-nyium botol parfum. Nanti kalo ujian tiba, semprotin parfumnya banyak-banyak. Biar memorinya kinclong. Hahahahahaha

By the way, aroma yang sedang ku hirup saat ini mengingatkanku pada.... :)

Sunday 20 December 2009

I'm sorry I dont know you

Lebih sepuluh kali dalam empat bulan terakhir ini saya memaki orang atau sekedar berlaku tidak sopan ditelepon. Apa pasalnya? Tentu saja ada. Saya bukan orang yang gampang terpancing emosi sebenarnya. But never try to play on me. Lalu kenapa saya sampai sedemikian emosi sampai memaki??

Awalnya ada sebuah nomor tidak dikenal. Jujur saja, saya paling malas mengangkat telepon tipe ini. Jika sedang dalam keadaan tidak memiliki janji atau urusan apapun dengan seseorang yang kemungkinan nomor ponselnya belum saya kenali, jangan harap saya akan mengangkat nomor tak dikenal tersebut.

Berawal dari keisengan saja, saya mengangkat telpon anonim itu,
"Hai, lagi dimana?" (Dengan nada sok akrab, dan saya tidak mengenal suaranya)
"Ini siapa ya?"
"Iya, lagi dimana?"
"Ini siapa?"
"Masa lupa..."
"ANDA siapa??"
"Kawanmulah"
"SIAPA??"
"*****" (Dia menyebutkan nama salah satu teman saya. Dan detik itu juga saya tahu dia berbohong. Nama yg dia sebutkan adalah nama seorang teman saya yg berdarah padang. Namun, dalam beberapa detik percakapan singkat itu saja saya tahu yg menelpon saya adalah seseorang dengan logat batak yg sangat kental)
Lalu dengan suara se-emosional mungkin, saya hardik dia,
"KURANG AJAR"
Tuuutt telpon saya matikan.

Beberapa orang pasti heran melihat saya se-emosional itu, tetapi yang lain pasti sudah terbiasa melihat emosi saya tak terkontrol. Ada hal-hal yang benar-benar tidak saya suka disini.

1. Menurut saya, secanggih apapun zaman, etika tetap harus digunakan. Menelpon seseorang yang kemungkinan tidak/belum mengenal nomor kontak anda, ada baiknya diawali dengan perkenalan. Bukan sok penting atau bagaimana, tapi ini etika. Atau jika anda memang sangat yakin si penerima telpon mengenal anda, ada baiknya anda membantu jika ia terlupa dan menanyakan siapa anda. Bukan malah saling melempar pertanyaan tidak jelas. Waktu adalah segalanya, dan kelakuan anda yang kekanak-kanakan benar-benar tidak efisien.

2. Walau tidak dibahas di kurikulum manapun dinegeri ini, telpon-menelpon juga memiliki aturan dan tatacara tidak tertulis. Saya sendiri paling tidak suka menerima telpon anonim dan diawali dengan pertanyaan 'lagi dimana?' Or something like that. Kesannya SKSD banget yaa. Hellooo, memangnya anda pikir anda siapa dengan seenaknya menanyakan keberadaan saya saat saya sendiri tidak tahu siapa anda. Perlu menjadi bahan pertimbangan, tidak semua orang saya beri izin untuk mengetahui keberadaan saya. Saya punya prioritas. Keluarga, sahabat, teman. Tidak ada tempat untuk orang tidak dikenal. Sepertinya repot sekali? Oh tidak, ini prosedur yang beretika.

3. Belajarlah menipu. Awali dengan menipu diri sendiri. Don't play on me, and don't try to!! Menipu itu seni. Perlu latihan panjang dan improvisasi. Sedikit saja kesalahan, hati-hati! Saya bisa mencium kebusukan, sekalipun sedang flu tak karu-karuan. Anda kira saya pakai jin, arwah, ngelmu hitam? Ohh tidak.. Untuk tahu trik pencuri, posisikan diri anda sebagai pencuri. Enaugh! And I catch u!

4. Maaf saya memaki dengan suara tinggi. Jujur, saja dalam beberapa hal saya bisa mengatur emosi saya sekehendak saya. Prinsip saya, I'm the driver of me! Mungkin suara saya tinggi dan memaki. Tapi efek yang saya harapkan bukan emosi saya terpuaskan karena saya tidak dalam keadaan seemosional itu untuk memaki. Suara tinggi dan makian yang saya keluarkan lebih bertujuan untuk menghardik dan memberi efek jera untuk tidak lagi mengulangi keusilannya pada saya.

5. Saya langsung menutup telpon tanpa salam? Oh ya itu harus. Anda sopan saya segan. Anda tidak respek terhadap saya, saya bisa lebih dari itu.

6. Si penelpon gelap memang sedang sial. Menelpon saya saat saya sedang emosi tak karuan. Hahahaha.

7. Terakhir, nomor anda terblacklist di HP saya dan terlabeli dengan nama "mo**ey". Ada mo**ey 1, 2, 3 dan seterusnya.

Membaca tulisan di atas mungkin anda mengira saya orang sombong nan angkuh. Ahahahaha. Terserah anda. U deserve to jugde me, but I deserve too to jugde u as impolite person.
Telepon, ponsel, atau apapun yang memperlihatkan kecanggihan di muka bumi ini sangat berkembang bukan berarti membuat kita melupakan etika.
Aturannya jelas, anda sopan, saya segan.

Monday 7 December 2009

Bumi Menganga

Sumpah aku ingin menuliskannya. Tapi sepertinya aku kehilangan media. Bumi seperti menganga tanpa bilang dulu sebelumnya. Lalu tinggallah aku yang terkejut tiba-tiba menyadari aku telah berdiri disatu tepi dengan kalian di tepi yang lain. Harusnya ada penjelasan untuk ini semua. Harusnya ada sesuatu yang bisa kita tuntut tanggung jawabnya. Tapi sudahlah, toh hanya aku sendiri yang menyadari jurang itu ada.

'Hey, kau! Ya kau, hati-hati! Selangkah lagi kau akan jatuh. Apa kau tidak melihat ada jurang menganga di depanmu?'

'Jurang? Ah kau gila. Tak pernah ada jurang disini.'

Lalu, plung. Dan dia tak nampak lagi.

Sekali, dua kali, tiga kali aku peringatkan. Satu, dua, tiga juga yang telah hilang. Apakah aku salah? Oh tidak, aku hanya dituduh gila.

Ada perang nurani yang terjadi. Antara tetap berdiri, mencoba sekuat hati mengajak mereka 'melihat' ada celah raksasa yang harus kita jembatani atau memilih pergi dan ikut berpura-pura tidak pernah terjadi retakan bumi disini.

Aku memilih yang kedua, maaf. Aku bukan superman. Hanya manusia biasa. Aku akan ikut berpura-pura bumi akan lepas landas tanpa celah. Namun, aku takkan melewati lagi tempat itu. Karena aku memilih untuk tidak jatuh bersamamu, sayang.

Saturday 5 December 2009

Messiah

We stand on two different land, honey. U wish the coming of the one, and I wish the Fu. But still, messiah will not come in a gang.