Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday 20 June 2009

hari itu

Dan tibalah kita dihari itu


Disaat bibirku sendiri kaku


Saat kusentuh keremangan diufuk barat sana


Jiwaku tertinggal membuai kegelapan timur bermakna ganda yang tersamarkan bersama-sama angin utara menghembus tiap helai nafas yang pernah kuhirup, atau mungkin kau hirup. Disini kita pernah mencaci maki wajah angkuh menegak sombong, tinggikan dirinya, andai siapa pun dia, kita tak pernah peduli, yang ada hanya keegoan semata ketika ada kegairahan untuk tertawa-tawa melihat ketimpangan di nanar tatapan mereka.




Lalu tibalah kita dihari itu,


Ketika aku sendirian mencoba menelaah apa, siapa, mengapa, bagaimana, tanpa arah mata angin, tanpa belas kasihan sang surya. Bintang pun seakan kehilangan kelopak matanya untuk mengedip sekedar berikan cahaya untuk lelucon yang tak lagi lucu ini. Sepantasnya sudah kutanyakan dimana kau saat itu? Tapi pernahkah?




Ketika kita tiba di hari itu,


Pernahkah terlintas di alam bawah sadar kita, bahwa adam dan hawa tak seharusnya keluar dari surga andai Allah tak mengharamkan sesuatu yang menggoda, bahwa segala sesuatu keluar dari batas kita tanpa kita setuju, siapa yang mengerti andai kebisuan merajai segala penjuru bumi.




Masih dihari itu,


Kita persenjatai diri dengan tangis dan debu. Tawa bukan lagi hak kita. Mengais-ngais sisa lelucon nista dulu pun tak guna. Yang dulu surga, saat itu neraka dan hari ini musnah. Tidak berjejak. Sekalipun tertinggal aku tak yakin ada yang bersedia mengabadikannya. Bahkan aku. Kematian raga adalah manusiawi. Pembunuhan jiwa, masihkah bisa ditolerir lagi? Bahkan nyanyian dewa-dewi pun kini tak lagi ber-esensi. Hanya olahan nada dan syair indah yang aku mulai lupa cara memaknainya.




Akhirnya mulai kulewati hari itu,


Telah kuselesaikan jembatan ini. Jembatan antara keberingasan mimpi dan entah apa diujungnya. Memang tak harus selalu tawa yang menanti disana. Tak juga tangis. Atau pesta kemenangan. Mungkin hanya nada romansa yang mulai bisa diberi makna. Mungkin tak ada yang tahu pasti apa artinya semua ini, tapi lagu yang ber-esensi mungkin adalah keberingasan mimpi lagi.


Mungkin juga tidak.




Laju angin yang tak terdeteksi menerbangkan apa saja yang ada dihadapan kita. Memberi kita ruang lega untuk mulai menata hidup baru lagi. Ada yang tertawa gembira barangkali diujung sana, ada juga yang sekedar bersimpati, tapi tak sedikit yang mencemplungkan diri mengira sebagai si bijaksana sejati.




Hari ini tak pernah ada ruang kosong untukku bernafas lega.


Sesak yang hanya bayangan mungkin akan kurasakan hingga akhir. Dan aku ingin ini berakhir. Kembali kutapaki jalan berduri. Sejak awal kita memang sendiri. Maka diakhir pun tak ada yang berganti.


Tegaklah berdiri di kaki ini. Kita tak harus selalu bertanya dimana arah pasti. Kadang di saat kaki tertatih untuk sekedar berdiri, disanalah petunjuk diberi. Itulah saat kita melangkah maju lagi. Begitulah seterusnya hingga mentari tak lagi menyapa pagi, dan malam tak datang untuk sekedar menghakimi.


September 5, 2008

No comments:

Post a Comment