Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday 20 June 2009

KPK, the curative one, where’s the preventive?

Permasalahan utama tindak korupsi dan penyuapan di Indonesia bukanlah masalah siapa pelakunya, siapa saja yang terlibat, kemana dan dari mana aliran dana mengalir,dsb. Saat ini sepertinya kita hanya berputar-putar di sekitar permasalahan yang itu-itu saja. Mengapa kita tidak mulai naik setingkat lebih tinggi dalam melihat masalah ini dengan kacamata yang lebih luas. Karena sesungguhnya makna pemberantasan korupsi tidak sekadar mengejar, menahan, mengadili dan memvonis pelaku. Tindakan-tindakan yang telah diambil oleh pihak berwajib mungkin memang mengurangi angka terjadinya korupsi dan penyuapan. Namun, perlu diketahui bahwa berkurangnya ataupun menurunnya angka kejadian korupsi dan penyuapan terjadi bukan sebagai manifestasi adanya kesadaran dari oknum-oknum terkait, tetapi lebih karena keterpaksaan dan ketakutan. Artinya saat pihak berwajib tidak lagi bertindak sekeras dan setegas saat sekarang ini, bukan tidak mungkin angka kejadian korupsi kembali meningkat. Pertanyaannya, benarkah jalan keluar pemberantasan korupsi dan penyuapan hanya sampai pada memburu, menahan, mengadili dan memvonis pelaku? Tentu saja tidak. Selain menciptakan sebuah lembaga anti koruptor ( dalam hal ini KPK ), satu hal yang sebenarnya sangat mendasar yang bisa dijadikan sebagai kendali praktik korupsi dan penyuapan jangka panjang adalah dengan mengendalikan keinginan oknum secara psikis. Artinya kita memberikan sebuah kesadaran, paling tidak meminimalkan niat dan keinginan untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal tersebut. Salah satu cara yang bisa dipertimbangkan saat ini adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, utamanya aparatur pemerintah. Mengapa aparatur pemerintah? Karena pada dasarnya kesempatan untuk korupsi dan menyuap yang terbesar ada di lingkungan aparat pemerintah yang notabene menyentuh langsung ke masyarakatnya.

Sejak awal pola pikir kita harus dibenahi ketika menghadapi suatu masalah. Artinya tindakan-tindakan solutif yang kita lakukan tidak semata-semata berbentuk suatu tindakan kuratif (menyembuhkan/memperbaiki sesuatu yang salah), tapi lebih dari itu, kita harus mulai memikirkan tindakan preventif untuk mencegah masalah itu terjadi. Bila kedua hal ini berjalan dengan berkesinambungan, insya Allah akan membawa perubahan yang lebih baik.

Dewasa ini kita tidak bisa lagi berpandangan bahwasannya terjadinya praktik korupsi ataupun penyuapan di negeri ini semata-mata kesalahan si oknum yang bersangkutan. Kembali lagi kita harus berpikir sederhana dengan pola sebab akibat. Apa sebabnya seorang oknum melakukan korupsi dan penyuapan atau bahkan disuap? Jawaban yang kita peroleh bisa saja bervariasi. Namun satu hal yang pasti, motif utama tidak selalu adalah keserakahan si oknum. Ada satu hal penting yang ikut ambil bagian dalam fenomena ini yaitu pola kehidupan yang berkembang dalam masyarakat kita. Saya akan mulai menjelaskan dengan analogi agar dapat lebih mudah dipahami.

Misalnya ada seorang camat, yang notabene adalah seorang pemimpin di kecamatannya. Masyarakat memandangnya sebagai seorang petinggi, dan adat kebiasaan di masyarakat kita adalah melihat orang-orang seperti si Camat adalah seseorang yang pasti berduit karena jabatan yang dipegangnya sehingga tidak jarang begitu banyak permohonan bantuan dan lain sebagainya yang dialamatkan kepada beliau. Itu yang pertama, yang kedua, sekarang ini zamannya LSM, Lemabaga Swadaya Masyarakat. LSM muncul bagaikan jamur di musim penghujan. Bertabur dimana-mana. Agenda utama pembentukan LSM sungguh sangat mulia awalnya, yaitu sebagai lembaga yang turut mewadahi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Namun pada praktiknya, sangat disayangkan, karena kebanyakan (tidak semua) lembaga non profit ini malah menjadi pemancing di air keruh yang ujung-ujungnya tidak tidak bukan adalah masalah kesejahteraan lambung. Wajar kita pertanyaan, apakah mungkin seorang camat yang notabene masih berada di jajaran kepangkatan eselon III dapat memenuhi semua hal ini. Padahal pendapatan pokoknya mungkin tidak sebesar yang kita bayangkan. Apakah mungkin dia akan mengorbankan kehidupan keluarganya yang notabene adalah tanggung jawabnya demi itu semua.

Mari bersama kita kembali berpikir. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri kita. Mari kita sama-sama mulai mendewasakan diri dengan segala fenomena ini. Mari kita sama-sama melihat dari sudut pandang yang berbeda tentang ini semua. Kita tidak bisa selalu menilai dari kacamata kita. Karena kita tak kan pernah mampu mengukur sesuatu menggunakan standar yang kita punya secara subjektif.

Itu hanya sebuah contoh kecil atas fenomena yang terjadi di Indonesia. Kembali kita pertanyakan, cukup mampu kah KPK sendiri yang bertindak memberantas korupsi di Indonesia? Atau hanya menakut-nakuti saja dan menimbulkan euforia sesaat dan redup kembali ketika zona KPK juga telah tercemar oleh praktik-praktik kriminal yang sama? Apakah sudah saatnya Indonesia menaikkan tingkat kesejahteraan rakyatnya untuk meminimalkan keinginan untuk melakukan tindakan korupsi dan penyuapan? Ini pantas dipertanyakan.

Ctt : bukankah lebih baik anggaran pada pos pembuatan baju khusus tahanan KPK dan pos-pos lain yang tidak begitu krusial dialihkan ke pos peningkatan kesejahteraan atau hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat di saat keadaan negara tidak kondusif seperti ini? Semua ini pantas kita pertanyakan!


MTAS


(hasil sebuah diskusi panjang dengan seorang teman berinisial SB)

September 3, 2008

No comments:

Post a Comment